
sophrology – Apakah kamu pernah merasa otak seperti “kosong”, sulit berkonsentrasi, atau mudah bosan setelah terlalu lama menonton video pendek di media sosial? Atau mungkin kamu mengalami kesulitan fokus setelah seharian menatap layar? Jika ya, kamu tidak sendirian. Kondisi ini kini dikenal luas dengan istilah “brain rot”.
Apa Itu Brain Rot?
Secara harfiah, “brain rot” berarti “pembusukan otak”. Meskipun bukan istilah medis resmi, istilah ini digunakan untuk menggambarkan kondisi ketika otak terasa lesu, kurang fokus, atau tidak mampu berpikir jernih setelah terlalu lama terpapar layar—terutama saat mengonsumsi konten digital dalam bentuk video pendek.
Mengutip dari WebMD, brain rot sering dipicu oleh konsumsi berlebihan terhadap konten yang tidak berkualitas, seperti video pendek yang aneh, memalukan, atau tanpa makna. Meskipun belum ada bukti ilmiah kuat yang menunjukkan bahwa konten rendah mutu dapat secara langsung merusak otak, banyak ahli sepakat bahwa pola konsumsi seperti ini bisa memengaruhi fungsi kognitif.
Asal-Usul Istilah “Brain Rot”
Istilah brain rot sebenarnya bukan hal baru. Menurut catatan sejarah, istilah ini pertama kali digunakan oleh Henry David Thoreau pada tahun 1854, yang menggambarkannya sebagai kecenderungan seseorang untuk lebih menyukai ide-ide dangkal dibandingkan dengan pemikiran yang lebih kompleks. Dalam konteks ini, brain rot mencerminkan penurunan daya pikir dan ketajaman mental.
Kepopuleran istilah ini melonjak di era media sosial dan bahkan menjadikannya sebagai Kata Terbaik versi Oxford pada tahun 2024, berkat penggunaannya yang meluas di kalangan warganet.
Apa Kata Pakar?
Dr. Gary Small, Ketua Psikiatri di Hackensack University Medical Center, New Jersey, sekaligus penulis buku The Memory Bible, menegaskan bahwa brain rot memang bukan istilah klinis. Namun menurutnya, istilah ini mewakili fenomena nyata berupa penurunan kemampuan berpikir atau kognitif akibat konsumsi konten digital yang dangkal secara berlebihan.
“Brain rot merujuk pada penurunan mental atau kognitif yang tampaknya terjadi ketika Anda mengonsumsi terlalu banyak konten daring yang tidak menantang atau remeh,” jelas Dr. Small kepada Anugerahslot Health.
Fenomena Brain Rot: Ketika Media Sosial Membuat Otak ‘Mati Rasa’

Menurut Oxford Press, brain rot atau pembusukan otak adalah istilah yang menggambarkan penurunan kondisi mental atau intelektual seseorang akibat konsumsi berlebihan terhadap konten, terutama dari media sosial yang dinilai dangkal atau tidak menantang.
Para ahli dari Oxford menyebutkan bahwa penggunaan istilah ini semakin populer karena banyak orang mulai khawatir akan dampak dari konsumsi konten berkualitas rendah secara terus-menerus. Bahkan, penggunaan kata brain rot tercatat meningkat hingga 230 persen sepanjang tahun 2023 hingga 2024, menunjukkan besarnya perhatian publik terhadap fenomena ini.
Apa Penyebabnya?
Meski belum ada bukti ilmiah yang benar-benar menguatkan mekanisme pasti terjadinya brain rot, sejumlah ahli menduga bahwa hormon dopamin—yang dilepaskan saat seseorang menggulir konten media sosial—ikut berperan. Aktivitas menggulir tanpa henti ini menciptakan kepuasan instan, namun tidak melatih otak untuk berpikir secara mendalam atau berkelanjutan.
Siapa yang Paling Rentan?
Fenomena pembusukan otak ini bisa dialami oleh siapa saja, tanpa memandang usia. Namun, menurut Dr. Gary Small dari Hackensack University Medical Center, kelompok yang paling banyak terpapar risiko adalah remaja perempuan, yang rata-rata menghabiskan waktu hingga tiga jam lebih per hari di media sosial.
“Waktu yang digunakan untuk terus-menerus menggulir media sosial bisa menggeser aktivitas lain yang sebenarnya jauh lebih bermanfaat bagi otak, seperti membaca, mengeksplorasi hobi, atau bersosialisasi langsung dengan orang lain,” ujar Small.
Apa Dampaknya bagi Otak?

Dr. Small menambahkan bahwa otak yang jarang distimulasi akan menjadi pasif. Meskipun brain rot tidak selalu menyebabkan kerusakan otak permanen, kebiasaan ini bisa menghambat perkembangan dan ketajaman fungsi kognitif seseorang.
“Ketika Anda hanya menonton atau menggulir tanpa berpikir, otak tidak aktif bekerja. Ini bukan hanya soal membahayakan, tapi juga soal kehilangan potensi penguatan fungsi otak,” tambahnya.
Kesimpulan:
Meski istilah brain rot belum diakui secara medis, fenomena ini mencerminkan kekhawatiran nyata terhadap gaya hidup digital saat ini. Mengatur waktu layar, memilih konten berkualitas, dan tetap aktif secara sosial maupun intelektual bisa menjadi langkah awal untuk menjaga kesehatan otak di era serba digital ini.
Dampak Negatif Menatap Layar Terlalu Lama: Dari Gangguan Fokus hingga Kecemasan

Dr. Gary Small menyebutkan bahwa menatap layar dalam batas wajar sebenarnya tidak menjadi masalah besar. Namun, ketika hal ini dilakukan secara berlebihan—terutama dengan kebiasaan scrolling tanpa henti—efek negatifnya bisa mulai terasa.
“Ketika seseorang terus-menerus menggulir layar, kadar dopamin di otak meningkat. Ini bisa memicu kecanduan perilaku, di mana otak merasa terus membutuhkan stimulasi instan dari konten,” ujar Small.
Berikut adalah beberapa efek negatif yang mungkin muncul akibat terlalu lama menatap layar dan mengonsumsi tayangan media sosial secara berlebihan:
1. Rentang Perhatian yang Semakin Pendek
Daniel Schacter, profesor psikologi dari Universitas Harvard, menjelaskan bahwa konten singkat di media sosial dapat melatih otak untuk fokus dalam durasi pendek. Kebiasaan ini berdampak pada kemampuan konsentrasi saat mengerjakan tugas-tugas lebih kompleks seperti membaca buku, menyelesaikan pekerjaan, atau bahkan saat mengobrol.
“Jika otak Anda terbiasa dengan konten singkat, maka akan lebih sulit baginya untuk tetap fokus pada sesuatu yang menuntut perhatian lebih lama,” ujar Schacter.
2. Penurunan Kemampuan Memori
Menonton konten tanpa makna selama berjam-jam juga berisiko mengganggu daya ingat. Beberapa studi menunjukkan bahwa konsumsi konten internet berlebih bisa memengaruhi memori jangka pendek—misalnya mudah lupa tanggal penting, petunjuk arah, atau informasi yang baru saja diterima.
3. Gangguan dalam Pengambilan Keputusan dan Pemecahan Masalah
Menurut Small, terlalu sering menatap layar bisa berdampak pada korteks serebral—bagian otak yang berperan penting dalam fungsi berpikir, membuat keputusan, dan memecahkan masalah. Penurunan fungsi area ini dapat menyebabkan seseorang mengalami kesulitan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari dengan efektif.
4. Meningkatkan Risiko Kecemasan dan Stres
Paparan layar yang berlebihan, terutama pada konten yang memicu perbandingan sosial atau informasi berlebihan, dapat menyebabkan stres dan kecemasan. Dalam jangka panjang, stres kronis ini dapat berdampak pada kemampuan otak untuk mengingat dan mengelola emosi.
“Jika Anda terlalu banyak menonton, Anda sedang memberikan stimulasi berlebihan pada otak Anda,” kata Small.
Kesimpulan:
Meskipun media sosial menawarkan hiburan dan informasi cepat, penggunaannya perlu dikendalikan. Menjaga keseimbangan antara konsumsi digital dan aktivitas yang memperkaya fungsi kognitif seperti membaca, berolahraga, atau berinteraksi langsung, dapat membantu menjaga kesehatan mental dan otak Anda tetap optimal.
Cara Efektif Mencegah Brain Rot Akibat Konsumsi Layar Berlebihan
Untuk mencegah terjadinya brain rot atau penurunan fungsi kognitif akibat terlalu lama menatap layar, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan. Daniel Schacter dan Gary Small membagikan sejumlah strategi yang bisa membantu menjaga kesehatan otak di era digital saat ini:
1. Tentukan Batas Waktu Menatap Layar
Langkah pertama yang bisa diterapkan adalah membatasi durasi waktu layar setiap harinya. Mulailah dengan menetapkan jadwal harian dan mematikan notifikasi dari aplikasi media sosial agar tidak mudah terganggu.
Menurut Small, kebiasaan ini bisa dimulai secara perlahan, misalnya dengan mengurangi waktu scrolling selama 30 detik hingga beberapa menit, lalu meningkatkannya seiring waktu. Konsistensi menjadi kunci agar otak tidak terus-menerus terpapar rangsangan digital.
2. Latihan Mindfulness
Penelitian menunjukkan bahwa latihan mindfulness atau kesadaran penuh bisa membantu meningkatkan aktivitas di bagian-bagian penting otak. Latihan ini dapat mengembalikan fokus dan membantu otak keluar dari kebiasaan menggulir media sosial secara otomatis.
“Latihan mindfulness bisa membantu Anda berhenti dari kebiasaan scrolling yang tidak sadar,” kata Small.
Cara sederhana untuk memulainya adalah dengan latihan pernapasan:
Tarik napas melalui hidung selama empat hitungan, tahan selama empat hitungan, lalu hembuskan perlahan melalui mulut selama empat hitungan. Lakukan selama sekitar 10 menit setiap hari.
3. Tetap Aktif secara Fisik
Olahraga tidak hanya baik untuk tubuh, tetapi juga sangat bermanfaat bagi otak. Aktivitas fisik dapat meningkatkan aliran darah ke otak serta merangsang neuroplastisitas, yaitu kemampuan otak untuk beradaptasi dan berkembang.
Berbagai studi menunjukkan bahwa rutin berolahraga bisa membantu meningkatkan fokus dan konsentrasi, terutama pada usia remaja. Disarankan untuk melakukan aktivitas fisik minimal 150 menit per minggu agar otak tetap aktif dan sehat.
Kesimpulan:
Menjaga keseimbangan antara aktivitas digital dan aktivitas fisik serta mental sangat penting di era sekarang. Dengan menerapkan batasan waktu layar, rutin berlatih mindfulness, dan aktif bergerak, kita bisa menjaga otak tetap tajam dan terhindar dari dampak buruk konsumsi konten digital yang berlebihan.